KEBUDAYAAN ISLAM

KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN            (1/6)
   Muhammad Husain Haekal
 
   MUHAMMAD telah meninggalkan warisan rohani yang agung,
   yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada
   kebudayaan dunia selama dalam beberapa abad yang lalu.
   Ia akan terus demikian sampai Tuhan menyempurnakan
   cahayaNya ke seluruh dunia. Warisan yang telah memberi
   pengaruh besar pada masa lampau itu, dan akan demikian,
   bahkan lebih lagi pada masa yang akan datang, ialah
   karena ia telah membawa agama yang benar dan meletakkan
   dasar kebudayaan satu-satunya yang akan menjamin
   kebahagiaan dunia ini. Agama dan kebudayaan yang telah
   dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan
   itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi
   terpisahkan.
 
Kalau pun kebudayaan Islam ini didasarkan kepada metoda-metoda
ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, - dan dalam hal ini sama
seperti yang  menjadi  pegangan  kebudayaan  Barat  masa  kita
sekarang,  dan  kalau  pun  sebagai agama Islam berpegang pada
pemikiran yang subyektif dan pada pemikiran  metafisika  namun
hubungan   antara   ketentuan-ketentuan   agama  dengan  dasar
kebudayaan  itu  erat  sekali.  Soalnya  ialah   karena   cara
pemikiran  yang  metafisik dan perasaan yang subyektif di satu
pihak,  dengan  kaidah-kaidah  logika   dan   kemampuan   ilmu
pengetahuan  di pihak lain oleh Islam dipersatukan dengan satu
ikatan, yang mau tidak mau memang perlu  dicari  sampai  dapat
ditemukan,  untuk  kemudian  tetap  menjadi orang Islam dengan
iman yang kuat pula. Dari segi ini  kebudayaan  Islam  berbeda
sekali  dengan kebudayaan Barat yang sekarang menguasai dunia,
juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi landasannya
berbeda.  Perbedaan  kedua  kebudayaan  ini,  antara yang satu
dengan  yang  lain  sebenarnya  prinsip  sekali,  yang  sampai
menyebabkan  dasar keduanya itu satu sama lain saling bertolak
belakang.

Timbulnya pertentangan ini ialah karena alasan-alasan sejarah,
seperti  sudah  kita singgung dalam prakata dan kata pengantar
cetakan kedua buku ini. Pertentangan di Barat antara kekuasaan
agama  dan  kekuasaan  temporal1  sebagai bangsa yang menganut
agama Kristen   atau dengan bahasa sekarang     antara  gereja
dengan negara     menyebabkan keduanya itu harus berpisah, dan
kekuasaan  negara  harus  ditegakkan  untuk   tidak   mengakui
kekuasaan  gereja.  Adanya  konflik  kekuasaan  itu  ada  juga
pengaruhnya dalam pemikiran Barat secara  keseluruhan.  Akibat
pertama  dari  pengaruh  itu  ialah  adanya  permisahan antara
perasaan manusia  dengar  pikiran  manusia,  antara  pemikiran
metafisik  dengan  ketentuan-ketentuan ilmu positif (knowledge
of   reality)   yang   berlandaskan   tinjauan   materialisma.
Kemenangan  pikiran  materialisma ini besar sekali pengaruhnya
terhadap lahirnya suatu  sistem  ekonomi  yang  telah  menjadi
dasar utama kebudayaan Barat.

Sebagai  akibatnya,  di  Barat telah timbul pula aliran-aliran
yang hendak membuat segala yang ada di muka  bumi  ini  tunduk
kepada  kehidupan  dunia  ekonomi.  Begitu  juga tidak sedikit
orang rang ingin menempatkan sejarah umat  manusia  dari  segi
agamanya,  seni,  f1lsafat, cara berpikir dan pengetahuannya -
dalam segala pasang surutnya pada  berbagai  bangsa  -  dengan
ukuran  ekonomi. Pikiran ini tidak terbatas hanya pada sejarah
dan penulisannya, bahkan beberapa aliran filsafat Barat  telah
pula  membuat pola-pola etik atas dasar kemanfaatan materi ini
semata-mata. Sungguh  pun  aliran-aliran  demikian  ini  dalam
pemikirannya  sudah  begitu  tinggi  dengan daya ciptanya yang
besar sekali, namun perkembangan pikiran di  Barat  itu  telah
membatasinya  pada  batas-batas  keuntungan materi yang secara
kolektif dibuat oleh pola-pola etik  itu  secara  keseluruhan.
Dan  dari segi pembahasan ilmiah hal ini sudah merupakan suatu
keharusan yang sangat mendesak.
 
Sebaiiknya mengenai masalah rohani, masalah  spiritual,  dalam
pandangan  kebudayaan Barat ini adalah masalah pribadi semata,
orang tidak perlu memberikan perhatian bersama untuk itu. Oleh
karenanya  membiarkan  masalah kepercayaan ini secara bebas di
Barat merupakan suatu hal  yang  diagungkan  sekali,  melebihi
kebebasan   dalam   soal   etik.   Sudah  begitu  rupa  mereka
mengagungkan masalah kebebasan etik itu demi kebebasan ekonomi
yang   sudah   sama   sekali   terikat   oleh   undang-undang.
Undang-undang ini akan dilaksanakan  oleh  tentara  atau  oleh
negara dengan segala kekuatan yang ada.

Kebudayaan  yang  hendak  menjadikan kehidupan ekonomi sebagai
dasarnya, dan pola-pola etik didasarkan  pula  pada  kehidupan
ekonomi  itu  dengan tidak menganggap penting arti kepercayaan
dalam kehidupan umum, dalam merambah jalan untuk umat  manusia
mencapai   kebahagiaan  seperti  yang  dicita-citakannya  itu,
menurut  hemat  saya  tidak  akan  mencapai   tujuan.   Bahkan
tanggapan  terhadap  hidup  demikian ini sudah sepatutnya bila
akan menjerumuskan umat manusia  ke  dalam  penderitaan  berat
seperti  yang  dialami  dalam  abad-abad belakangan ini. Sudah
seharusnya pula apabila segala pikiran  dalam  usaha  mencegah
perang  dan mengusahakan perdamaian dunia tidak banyak membawa
arti dan hasilnya pun tidak  seberapa.  Selama  hubungan  saya
dengan  saudara  dasarnya  adalah sekerat roti yang saya makan
atau yang saudara makan, kita berebut, bersaing dan bertengkar
untuk  itu,  masing-masing  berpendirian  atas  dasar kekuatan
hewaninya,  maka  akan  selalu  kita  masing-masing   menunggu
kesempatan  baik  untuk  secara  licik memperoleh sekerat roti
yang di tangan temannya itu. Masing-masing kita satu sama lain
akan  selalu  melihat  teman  itu sebagai lawan, bukan sebagai
saudara. Dasar etik yang tersembunyi dalam diri kita ini  akan
selalu  bersifat  hewani,  sekali  pun masih tetap tersembunyi
sampai pada waktunya nanti ia akan timbul.  Yang  selalu  akan
menjadi pegangan dasar etik ini satu-satunya ialah keuntungan.
Sementara arti perikemanusiaan  yang  tinggi,  prinsip-prinsip
akhlak  yang  terpuji, altruisma, cinta kasih dan persaudaraan
akan jatuh tergelincir, dan  hampir-hampir  sudah  tak  dapat
dipegang lagi.
 
Apa  yang  terjadi  dalam  dunia  dewasa  ini ialah bukti yang
paling nyata atas apa yang saya sebutkan itu.  Persaingan  dan
pertentangan  ialah  gejala  pertama dalam sistem ekonomi, dan
itu pula gejala pertamanya dalam kebudayaan Barat, baik  dalam
paham  yang  individualistis,  maupun  sosialistis  sama  saja
adanya. Dalam  paham  individualisma,  buruh  bersaing  dengan
buruh,  pemilik  modal  dengan  pemilik  modal.  Buruh  dengan
pemilik  modal  ialah  dua   lawan   yang   saling   bersaing.
Pendukung-pendukung paham ini berpendapat bahwa persaingan dan
pertentangan ini akan membawa  kebaikan  dan  kemajuan  kepada
umat  manusia.  Menurut mereka ini merupakan perangsang supaya
bekerja lebih tekun dan perangsang untuk pembagian kerja,  dan
akan menjadi neraca yang adil dalam membagi kekayaan.
 
Sebaliknya  paham sosialisma yang berpendapat bahwa perjuangan
kelas yang harus disudahi dengan kekuasaan  berada  di  tangan
kaum  buruh,  merupakan  salah  satu  keharusan  alam.  Selama
persaingan dan perjuangan mengenai harta itu  dijadikan  pokok
kehidupan,  selama  pertentangan  antar-kelas  itu wajar, maka
pertentangan antar-bangsa juga wajar, dengan tujuan yang  sama
seperti   pada   perjuangan   kelas.   Dari  sinilah  konsepsi
nasionalisma itu, dengan  sendirinya,  memberi  pengaruh  yang
menentukan   terhadap   sistem   ekonomi.  Apabila  perjuangan
bangsa-bangsa untuk menguasai harta itu wajar, apabila  adanya
penjajahan  untuk  itu  wajar  pula,  bagaimana mungkin perang
dapat dicegah dan perdamaian  di  dunia  dapat  dijamin?  Pada
menjelang  akhir abad ke-20 ini kita telah dapat menyaksikan -
dan masih dapat kita  saksikan  -  adanya  bukti-bukti,  bahwa
perdamaian  di  muka bumi dengan dasar kebudayaan yang semacam
ini hanya dalam impian saja dapat  dilaksanakan,  hanya  dalam
cita-cita  yang manis bermadu, tetapi dalam kenyataannya tiada
lebih dari suatu fatamorgana yang kosong belaka.

Kebudayaan Islam  lahir  atas  dasar  yang  bertolak  belakang
dengan dasar kebudayaan Barat. Ia lahir atas dasar rohani yang
mengajak  manusia  supaya  pertama  sekali   dapat   menyadari
hubungannya  dengan  alam  dan tempatnya dalam alam ini dengan
sebaik-baiknya. Kalau kesadaran demikian ini sudah  sampai  ke
batas  iman,  maka  imannya  itu  mengajaknya  supaya ia tetap
terus-menerus mendidik dan melatih diri, membersihkan  hatinya
selalu,  mengisi jantung dan pikirannya dengan prinsip-prinsip
yang lebih luhur - prinsip-prinsip harga  diri,  persaudaraan,
cinta kasih, kebaikan dan berbakti. Atas dasar prinsip-prinsip
inilah manusia hendaknya menyusun kehidupan  ekonominya.  Cara
bertahap  demikian ini adalah dasar kebudayaan Islam, seperti
wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad,  yakni  mula-mula
kebudayaan  rohani,  dan  sistem kerohanian disini ialah dasar
sistem pendidikan serta dasar  pola-pola  etik  (akhlak).  Dan
prinsip-prinsip  etik ini ialah dasar sistem ekonominya. Tidak
dapat dibenarkan tentunya dengan  cara  apa  pun  mengorbankan
prinsip-prinsip  etik  ini  untuk  kepentingan  sistem ekonomi
tadi.
 
Tanggapan Islam tentang kebudayaan demikian ini menurut  hemat
saya  ialah  tanggapan yang sesuai dengan kodrat manusia, yang
akan menjamin kebahagiaan baginya. Kalau ini  yang  ditanamkan
dalam  jiwa  kita dan kehidupan seperti dalam kebudayaan Barat
itu kesana pula jalannya, niscaya corak umat manusia itu  akan
berubah,  prinsip-prinsip  yang  selama  ini  menjadi pegangan
orang  akan  runtuh,  dan   sebagai   gantinya   akan   timbul
prinsip-prinsip  yang  lebih  luhur, yang akan dapat mengobati
krisis dunia kita sekarang ini sesuai dengan tuntunannya  yang
lebih cemerlang.
 
Sekarang orang di Barat dan di Timur berusaha hendak mengatasi
krisis ini, tanpa mereka sadari - dan  kaum  Muslimin  sendiri
pun   tidak  pula  menyadari  -  bahwa  Islam  dapat  menjamin
mengatasinya. Orang-orang di Barat dewasa ini  sedang  mencari
suatu  pegangan  rohani  yang  baru, yang akan dapat menanting
mereka dari paganisma yang sedang  menjerumuskan  mereka;  dan
sebab   timbulnya   penderitaan   mereka  itu,  penyakit  yang
menancapkan mereka ke dalam kancah  peperangan  antara  sesama
mereka,   ialah   mammonisma   -   penyembahan  kepada  harta.
Orang-orang Barat mencari pegangan baru itu  didalam  beberapa
ajaran  di  India  dan  di  Timur Jauh; padahal itu akan dapat
mereka peroleh tidak jauh dari mereka, akan mereka dapati  itu
sudah ada ketentuannya didalam Qu'ran, sudah dilukiskan dengan
indah sekali dengan teladan yang sangat  baik  diberikan  oleh
Nabi kepada manusia selama masa hidupnya.
 
Bukan  maksud  saya  hendak melukiskan kebudayaan Islam dengan
segala ketentuannya itu disini. Lukisan  demikian  menghendaki
suatu  pembahasan  yang  mendalam,  yang  akan  meminta tempat
sebesar buku ini atau lebih besar lagi. Akan tetapi -  setelah
dasar  rohani  yang  menjadi  landasannya  itu  saya  singgung
seperlunya  -  lukisan  kebudayaan  itu  disini   ingin   saya
simpulkan,  kalau-kalau  dengan  demikian  ajaran  Islam dalam
keseluruhannya  dapat   pula   saya   gambarkan   dan   dengan
penggambaran  itu  saya akan merambah jalan ke arah pembahasan
yang lebih dalam lagi.  Dan  sebelum  melangkah  ke  arah  itu
kiranya  akan  ada  baiknya juga saya memberi sekadar isyarat,
bahwa  sebenarnya  dalam  sejarah   Islam   memang   tak   ada
pertentangan   antara   kekuasaan   agama  (theokrasi)  dengan
kekuasaan temporal, yakni antara gereja dengan negara. Hal ini
dapat   menyelamatkan   Islam  dari  pertentangan  yang  telah
ditinggalkan Barat dalam pikiran dan dalam haluan sejarahnya.

Islam  dapat  diselamatkan  dari  pertentangan  serta   segala
pengaruhnya  itu,  sebabnya ialah karena Islam tidak kenal apa
yang namanya gereja itu  atau  kekuasaan  agama  seperti  yang
dikenal  oleh  agama  Kristen.  Belum  ada  orang  di kalangan
Muslimin  -  sekalipun  ia  seorang  khalifah  -   yang   akan
mengharuskan  sesuatu  perintah kepada orang, atas nama agama,
dan akan mendakwakan dirinya mampu  memberi  pengampunan  dosa
kepada  siapa saja yang melanggar perintah itu. Juga belum ada
di kalangan Muslimin - sekalipun ia seorang  khalifah  -  yang
akan  mengharuskan  sesuatu  kepada  orang  selain  yang sudah
ditentukan Tuhan di dalam Qur'an.  Bahkan  semua  orarg  Islam
sama  di  hadapan  Tuhan.  Yang seorang tidak lebih mulia dari
yang  lain,  kecuali  tergantung  kepada  takwanya  -   kepada
baktinya.  Seorang  penguasa  tidak  dapat  menuntut kesetiaan
seorang Muslim apabila dia sendiri  melakukan  perbuatan  dosa
dan  melanggar  penntah  Tuhan.  Atau  seperti  kata  Abu Bakr
ash-Shiddiq kepada kaum Muslimin  dalam  pidato  pelantikannya
sebagai  Khalifah  "Taatilah  saya  selama  saya  taat  kepada
(perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila  saya  melanggar
(perintah) Allah dan Rasul maka gugurkanlah kesetiaanmu kepada
saya."
 
Kendatipun  pemerintahan  dalam  Islam  sesudah  itu  kemudian
dipegang  oleh  seorang  raja  tirani,  kendatipun di kalangan
Muslimin pernah timbul perang  saudara,  namun  kaum  Muslimin
tetap  berpegang kepada kebebasan pribadi yang besar itu, yang
sudah ditentukan oleh agama, kebebasan yang sampai menempatkan
akal  sebagai  patokan  dalam  segala  hal,  bahkan  dijadikan
patokan didalam agama dan iman sekalipun. Kebebasan ini  tetap
mereka   pegang   sekalipun   sampai   pada   waktu  datangnya
penguasa-penguasa  orang-orang  Islam  yang  mendakwakan  diri
sebagai  pengganti Tuhan di muka bumi ini - bukan lagi sebagai
pengganti Rasulullah. Padahal segala persoalan Muslimin  sudah
mereka kuasai belaka, sampai-sampai ke soal hidup dan matinya.
 
Sebagai  bukti  misalnya  apa  yang  sudah  terjadi  pada masa
Ma'mun, tatkala orang berselisih mengenai Qur'an: makhluk atau
bukan  makhluk - yang diciptakan atau bukan diciptakan! Banyak
sekali orang  yang  menentang  pendapat  Khalifah  waktu  itu,
padahal  mereka  mengetahui akibat apa yang akan mereka terima
jika berani menentangnya.

Dalam segala hal  akal  pikiran  oleh  Islam  telah  dijadikan
patokan.  Juga  dalam hal agama dan iman ia dijadikan patokan.
Dalam firman Tuhan:
 
"Perumpamaan orang-orang  yang  tidak  beriman  ialah  seperti
(gembala)  yang  meneriakkan  (ternaknya) yang tidak mendengar
selain suara panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu  dan
buta,  sebab  mereka tidak menggunakan akal pikiran." (Qur'an,
2: 171)
 
Oleh Syaikh Muhammad  Abduh  ditafsirkan,  dengan  mengatakan:
"Ayat  ini  jelas  sekali  menyebutkan, bahwa taklid (menerima
begitu  saja)  tanpa  pertimbangan  akal  pikiran  atau  suatu
pedoman  ialah  bawaan  orang-orang tidak beriman. Orang tidak
bisa beriman kalau agamanya  tidak  disadari  dengan  akalnya,
tidak  diketahuinya sendiri sampai dapat ia yakin. Kalau orang
dibesarkan dengan biasa menerima begitu  saja  tanpa  disadari
dengan  akal pikirannya, maka dalam melakukan suatu perbuatan,
meskipun perbuatan yang baik, tanpa  diketahuinya  benar,  dia
bukan  orang  beriman. Dengan beriman bukan dimaksudkan supaya
orang  merendah-rendahkan  diri  melakukan  kebaikan   seperti
binatang  yang  hina, tapi yang dimaksudkan supaya orang dapat
meningkatkan daya akal  pikirannya,  dapat  meningkatkan  diri
dengan  ilmu  pengetahuan, sehingga dalam berbuat kebaikan itu
benar-benar ia sadar, bahwa kebaikannya  itu  memang  berguna,
dapat  diterima  Tuhan.  Dalam meninggalkan kejahatan pun juga
dia mengerti benar bahaya dan  berapa  jauhnya  kejahatan  itu
akan membawa akibat."
 
Inilah  yang dikatakan Syaikh Muhammad Abduh dalam menafsirkan
ayat ini, yang di dalam Qur'an,  selain  ayat  tersebut  sudah
banyak  pula  ayat-ayat  lain  yang  disebutkan  secara  jelas
sekali. Qur'an menghendaki  manusia  supaya  merenungkan  alam
semesta ini, supaya mengetahui berita-berita sekitar itu, yang
kelak  renungan  demikian  itu  akan  mengantarkannya   kepada
kesadaran  tentang  wujud  Tuhan,  tentang keesaanNya, seperti
dalam firman Allah:
                                    (bersambung ke bagian 2/6)
 
---------------------------------------------
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah